PELAKSANAAN NIKAH PADA BULAN MUHARRAM MENURUT ADAT JAWA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
ABSTRAK
Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan manusia berkembang biak demi kelestariannya. Selain dari pada itu, dengan perkawinan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya. Masyarakat adat Jawa sangat memperhatikan adanya mitos dan kepercayaan yang menjadi keyakinan dalam kehidupan. Masyarakat Jawa pada umumnya masih memegang kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh leluhurnya. Oleh karena itu, masih banyak dijumpai adat atau kebiasaan-kebiasaan untuk tidak melaksanakan nikah pada bulan Muharram, karena pada bulan itu diyakininya oleh orang-orang Jawa sebagai bulan yang tidak baik. Adat seperti itu sudah ada semenjak orang-orang terdahulu. Dan bilamana kepercayaan yang sudah mentradisi itu dilanggar maka akan menanggung akibat balaknya yang dilakukan sendiri.
Budaya Jawa sebelumnya sudah di bentuk dengan pandangan hidup Hindu- Budha, maka ketika memeluk Islampun sisa-sisa ajaran sebelumnya masih melekat. Pandangan yang demikianlah yang melahirkan tradisi atau sistem-sistem budaya masyarakat tradisional. Menyalahi tardisi, yang berarti keluar dari sistem-sistem yang ada. Setelah agama Islam lahir, maka yang menajadi asas hukum mereka berganti dengan aturan-aturan atau nash-nash yang berdasarkan kepada al-Qur’an dan Sunah, maka fungsi adat menjadi pudar dari fungsinya semula adat sudah tidak lagi dianggap sebagai dalail khas dari hukum Islam oleh ulama-ulama ushul.
Masyarakat Jawa pada umumnya dan khususnya di Kelurahan Wonokarto kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri dalam melaksanakan perkawinan masih berdasar kepercayaan dari para leluhurnya. Semisal mereka melaksanakan pernikahan pada bulan Muharram itu, betul-betul tidak berani hal itu karena adanya kepercayaan-kepercayaan yang turun-menurun dari zaman dahulu, walaupun adat itu dilanggar entah apa yang terjadi itu tidak tahu, Padahal Islam tidak seperti itu, Islam justru menganggap yang seperti ini adalah thiyarah (meramalkan bernasib sial karena melihat sesuatu akan tetapi itu adalah mitos yang sangat kuat dipegang oleh orang-orang Jawa yang berada di Kelurahan Wonokarto kabupaten Wonogiri. Yang telah terbiasa dilakukan karena kebiasaan adat setempat yang sudah menjadi tradisi dalam kehidupan mereka) dan thiyarah itu sendiri syirik. Islampun tidak mengenal: pon, wage, kliwon, legi, pahing. Islam hanya mengenal Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, Ahad. Islam tidak mengenal naga tahun, naga jati garang dan sebagainya. sebab ini bukan buatan Islam. Berangkat dari fenomena dan realitas dari pelaksanaan pernikahan di bulan Muharram, yang terjadi di Kelurahan Wonokarto, adalah sebagai pernikahan yang tidak diperbolehkan dalam adat budaya setempat, yang berulang kali terjadi.
Budaya Jawa sebelumnya sudah di bentuk dengan pandangan hidup Hindu- Budha, maka ketika memeluk Islampun sisa-sisa ajaran sebelumnya masih melekat. Pandangan yang demikianlah yang melahirkan tradisi atau sistem-sistem budaya masyarakat tradisional. Menyalahi tardisi, yang berarti keluar dari sistem-sistem yang ada. Setelah agama Islam lahir, maka yang menajadi asas hukum mereka berganti dengan aturan-aturan atau nash-nash yang berdasarkan kepada al-Qur’an dan Sunah, maka fungsi adat menjadi pudar dari fungsinya semula adat sudah tidak lagi dianggap sebagai dalail khas dari hukum Islam oleh ulama-ulama ushul.
Masyarakat Jawa pada umumnya dan khususnya di Kelurahan Wonokarto kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri dalam melaksanakan perkawinan masih berdasar kepercayaan dari para leluhurnya. Semisal mereka melaksanakan pernikahan pada bulan Muharram itu, betul-betul tidak berani hal itu karena adanya kepercayaan-kepercayaan yang turun-menurun dari zaman dahulu, walaupun adat itu dilanggar entah apa yang terjadi itu tidak tahu, Padahal Islam tidak seperti itu, Islam justru menganggap yang seperti ini adalah thiyarah (meramalkan bernasib sial karena melihat sesuatu akan tetapi itu adalah mitos yang sangat kuat dipegang oleh orang-orang Jawa yang berada di Kelurahan Wonokarto kabupaten Wonogiri. Yang telah terbiasa dilakukan karena kebiasaan adat setempat yang sudah menjadi tradisi dalam kehidupan mereka) dan thiyarah itu sendiri syirik. Islampun tidak mengenal: pon, wage, kliwon, legi, pahing. Islam hanya mengenal Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, Ahad. Islam tidak mengenal naga tahun, naga jati garang dan sebagainya. sebab ini bukan buatan Islam. Berangkat dari fenomena dan realitas dari pelaksanaan pernikahan di bulan Muharram, yang terjadi di Kelurahan Wonokarto, adalah sebagai pernikahan yang tidak diperbolehkan dalam adat budaya setempat, yang berulang kali terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar