Jumat, 02 Desember 2011

Sesaji dalam Pernikahan Jawa

Sesaji dalam Pernikahan Jawa
Masyarakat Jawa masih mengenal “sesaji”. Bahkan sampai sekarang, masih ada banyak masyarakat Jawa yang meneruskan tradisi sesaji. Namun, yang telah menjadi tradisi bagi masyarakat Jawa ini, oleh masyarakat modern dianggap sebagai klenik, mistik, irasional, dan segala jenis sebutan lain yang terkesan miring/negatif terhadap tradisi sesaji. Hanya sedikit yang melihatnya sebagai manifestasi bentuk lain dari doa. Dalam kata lain, sesaji adalah wujud dari sistem religi masyarakat Jawa.
Sesaji dalam Pernikahan Jawa

Sesaji dalam Pernikahan Jawa

Ada bermacam-macam sesaji dalam kehidupan masyarakat Jawa, salah satunya adalah sesaji dalam pernikahan. Selain itu, ada pula sesaji untuk kematian dan kelahiran, yang dikenal dalam istilah siklus kehidupan manusia Jawa, yaitu: Metu-Manten-Mati (Lahir-Pernikahan-Kematian). Di dalam sesaji pernikahan sendiri, ada empat jenis sesaji, yaitu: Sesaji Pasang Tarub, Sesaji Siraman, Sesaji Midadareni, Sesaji Panggih/Temu.

Tradisi kuno masyarakat Jawa memiliki tata cara lengkap dalam pernikahan; sebelum pernikahan, hari pelaksanaan, dan sesudah pernikahan. Meskipun zaman semakin berkembang, namun kebiasaan untuk tetap mempertahankan tradisi tetap dipegang kuat. Seperti Sajen Pasang Tarub yang masih terus dipelihara oleh masyarakat Jawa saat ini. Di antara semua sesaji, Sesaji Pasang Tarub adalah sesaji yang paling lengkap. Salah satu sesaji yang ada dalam rangkaian Sesaji Pasang Tarub bisa ditemukan pada sesaji lain, misalnya ditemukan dalam Sesaji Siraman, dan seterusnya. Setiap sesaji memiliki maknanya sendiri-sendiri. Bahkan cara pembuatan dan penyajiannya pun berbeda-beda. Kekayaan makna dalam sesaji ini menggambarkan roda hidup, lika-liku dan naik turun kehidupan manusia, dari lahir hingga kematian.

Masyarakat Jawa sampai sekarang masih meneruskan legalitas pernikahan. Masalahnya setelah legalitas formal dipenuhi, yang kemudian diutamakan adalah resepsi di gedung. Seolah pesta di gedung merupakan puncak dari yang disebut pernikahan. Religiusitas pernikahan seakan bergeser pada harta kekayaan. Jika dilihat pada pijakan hidup masyarakat Jawa yang terdiri dari: dharma (kewajiban), harta (kekayaan), kama (asmara), dan moksa (hilang), upacara pernikahan zaman sekarang, seakan lebih kuat berorientasi pada harta dan melupakan dharma. Mungkin saja, pernikahan zaman sekarang merupakan representasi dari kehidupan modern yang serba wadag (raga), materialistis, instan dan tidak menganggap penting religi lokal.

Memang sulit dihindari, karena saat ini pada setiap upacara pernikahan hampir selalu ditemukan resepsi. Masyarakat Jawa dalam resepsi pernikahan seperti kembali menghidupkan kebiasaan basa-basi, yang diwadahi dalam gebyar. Namun, itu sesungguhnya menyimpan beragam persoalan dari segi ekonomi, budaya, dan religi. Dari segi ekonomi bisa dilihat pada jumlah biaya dan sumber biaya. Lalu, apakah jumlah biaya yang dikeluarkan minimal bisa impas dari sumbangan/kado yang diterima. Dilihat dari segi budaya, resepsi pernikahan lebih pada representasi gaya hidup masa kini. Sedangkan dari segi religi, pernikahan yang dilakukan telah menghilangkan atau mengabaikan tradisi sesaji masyarakat Jawa.

Mungkin saja yang menyebabkan religi lokal jawa ini dikesampingkan adalah karena masyarakat Jawa sekarang ini tidak mengenal sesaji, atau kalaupun mengenal hanya sepotong-potong. Tradisi sesaji sepertinya terlihat dan terkesan ribet dan tidak praktis, serta bertentangan dengan budaya instan masyarakat saat ini. Padahal tidak demikian, karena bahan-bahan dalam sesaji dapat dengan mudah ditemukan di sekitar kita, serta dengan praktis dapat pula disiapkan. Jadi, marilah kita melihat kembali representasi sesaji dalam pernikahan adat Jawa, karena selain merupakan wujud lain dari doa syukur dan permohonan, kita  juga dapat ikut serta melestarikan kebudayaan Jawa.   Sesaji dalam Pernikahan Jawa

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes